PT Kontak Perkasa - Peneliti dari Universitas Leiden, Ward Berenschot menilai demokrasi di Indonesia terlalu didominasi orang kaya. Bila tak ada politikus dari kaum miskin, maka efek negatifnya bisa sampai ke pelayanan publik.
"Walaupun demokrasi Indonesia cukup baik dalam mewakili keragaman etnis dan agama, tetapi tidak baik dalam mewakili kelas sosial yang berbeda - seperti kelas menengah dan orang miskin. Politisi Indonesia secara tidak proporsional berasal dari latar belakang kaya dan elite ekonomis," kata Berenschot dalam keterangan pers tertulisnya, Senin (9/9/2019).
Berenschot yang merupakan Associate Researcher Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) ini menjelaskan soal keterwakilan publik oleh anggota DPR, DPRD, dan juga kepala daerah. Ada juga politikus dari latar belakang tidak terlalu kaya, namun di belakangnya pastilah ada orang kaya. Dia menyebut kelompok terbesar yang masuk politik adalah kelompok pebisnis.
"Kita semua tahu banyak contoh elite politik yang juga elite ekonomis di tingkat nasional: Sandiago Uno, Erick Thohir, Jusuf Kalla, Hary Tanoe, Surya Paloh: sekarang sagat mudah untuk orang bisnis untuk masuk dunia politik. Di tingkat lokal, pola hampir sama," kata dia.
Sebaiknya, anggota parlemen bukan mewakili satu golongan kelas sosial saja. Tujuannya, supaya kebijakan yang dihasilkan anggota dewan bisa adil bagi semua golongan. Itu akan sulit diwujudkan bila semua anggota parlemen berasal dari golongan kaya saja.
Ada risiko atau efek negatif dari kondisi itu. Bila cuma orang kaya saja yang menjalankan roda utama demokrasi, maka kesetaraan politik tidak akan terwujud. Dampak buruk dari tak adanya kesetaraan politik yakni, pertama, orang merasa tidak terwakili dengan politikus yang ada. Dalam kondisi itu, massa akan mudah tertarik dengan sosok yang menawarkan penghancuran sistem. Berenschot mencontohkan sosok tersebut seperti Rodrigo Duterte di Filipina, Jair Bolsonaro di Brazil, Donald Trump di AS, atau Boris Johnson di Inggris.
Kedua, terjadi ketegangan antarkelompok sosial. Ketiga, terbentuk oligarki (pemerintahan dijalankan beberapa orang yang berkuasa dari golongan tertentu).
"Ketidaksetaraan politik mengarah pada keistimewaan kelompok dominan-dalam hal ini elite ekonomi. Ini berarti dalam masalah ketika ada kepentingan yang berbeda antara elite ekonomi dan penduduk lainnya, elit ekonomi cenderung menang (tapi tidak selalu!)," kata Berenschot.
Kelompok yang berkuasa cenderung memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Kepentingan kelompok lain, yakni kelompok miskin atau kelompok yang bertentangan dengan elite, tak akan terwadahi.
"Salah satu contoh yang sangat relevan sekarang, adalah perjuangan terkait KPK. Dalam pendapat saya untuk elite itu penting kalau KPK lemah, karena itu mengurangi risiko untuk mereka," imbuhnya.
Efek negatif lainnya bila politik terlalu didominasi orang kaya, bila terjadi konflik antara perusahaan versus masyarakat, maka pejabat dari kalangan elite ekonomi tinggi cenderung memihak kaum bermodal, yakni pihak perusahaan. Juga, kebijakan-kebijakan publik yang dijalankan pemerintah bakal terasa payah oleh kaum miskin.
"Singkatnya, dominasi elite ekonomi dalam politik Indonesia memiliki efek besar pada kualitas layanan publik, keadilan sosial, dan kekuatan Rule of Law di Indonesia," kata dia.
Lalu ke mana politikus dari golongan miskin dan kaum muda berkantong cekak? Kurangnya politikus dari golongan miskin dan kaum muda ini disebabkan oleh biaya kampanye yang tinggi.
Seorang bupati rata-rata keluar Rp 28 miliar untuk kampanye. Orang miskin atau anak muda mana yang mampu mengeluarkan duit sebanyak itu? Partai-partai politik di Indonesia juga cenderung memilih kandidat dari orang kaya supaya kandidat tersebut bisa membiayai kampanyenya sendiri.
"Sampai sekarang reformasi sistem elektoral (yang sering terjadi di Indonesia), tidak berfokus terhadap mengurangi biaya kampanye. Harusnya: kalau peraturan baru berhasil mengurangi ongkos politik, itu naikkan kemungkinan orang muda dan orang miskin akan maju dalam politik," kata Berenschot menyimpulkan. - PT Kontak Perkasa
"Walaupun demokrasi Indonesia cukup baik dalam mewakili keragaman etnis dan agama, tetapi tidak baik dalam mewakili kelas sosial yang berbeda - seperti kelas menengah dan orang miskin. Politisi Indonesia secara tidak proporsional berasal dari latar belakang kaya dan elite ekonomis," kata Berenschot dalam keterangan pers tertulisnya, Senin (9/9/2019).
Berenschot yang merupakan Associate Researcher Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) ini menjelaskan soal keterwakilan publik oleh anggota DPR, DPRD, dan juga kepala daerah. Ada juga politikus dari latar belakang tidak terlalu kaya, namun di belakangnya pastilah ada orang kaya. Dia menyebut kelompok terbesar yang masuk politik adalah kelompok pebisnis.
"Kita semua tahu banyak contoh elite politik yang juga elite ekonomis di tingkat nasional: Sandiago Uno, Erick Thohir, Jusuf Kalla, Hary Tanoe, Surya Paloh: sekarang sagat mudah untuk orang bisnis untuk masuk dunia politik. Di tingkat lokal, pola hampir sama," kata dia.
Sebaiknya, anggota parlemen bukan mewakili satu golongan kelas sosial saja. Tujuannya, supaya kebijakan yang dihasilkan anggota dewan bisa adil bagi semua golongan. Itu akan sulit diwujudkan bila semua anggota parlemen berasal dari golongan kaya saja.
Ada risiko atau efek negatif dari kondisi itu. Bila cuma orang kaya saja yang menjalankan roda utama demokrasi, maka kesetaraan politik tidak akan terwujud. Dampak buruk dari tak adanya kesetaraan politik yakni, pertama, orang merasa tidak terwakili dengan politikus yang ada. Dalam kondisi itu, massa akan mudah tertarik dengan sosok yang menawarkan penghancuran sistem. Berenschot mencontohkan sosok tersebut seperti Rodrigo Duterte di Filipina, Jair Bolsonaro di Brazil, Donald Trump di AS, atau Boris Johnson di Inggris.
Kedua, terjadi ketegangan antarkelompok sosial. Ketiga, terbentuk oligarki (pemerintahan dijalankan beberapa orang yang berkuasa dari golongan tertentu).
"Ketidaksetaraan politik mengarah pada keistimewaan kelompok dominan-dalam hal ini elite ekonomi. Ini berarti dalam masalah ketika ada kepentingan yang berbeda antara elite ekonomi dan penduduk lainnya, elit ekonomi cenderung menang (tapi tidak selalu!)," kata Berenschot.
Kelompok yang berkuasa cenderung memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Kepentingan kelompok lain, yakni kelompok miskin atau kelompok yang bertentangan dengan elite, tak akan terwadahi.
"Salah satu contoh yang sangat relevan sekarang, adalah perjuangan terkait KPK. Dalam pendapat saya untuk elite itu penting kalau KPK lemah, karena itu mengurangi risiko untuk mereka," imbuhnya.
Efek negatif lainnya bila politik terlalu didominasi orang kaya, bila terjadi konflik antara perusahaan versus masyarakat, maka pejabat dari kalangan elite ekonomi tinggi cenderung memihak kaum bermodal, yakni pihak perusahaan. Juga, kebijakan-kebijakan publik yang dijalankan pemerintah bakal terasa payah oleh kaum miskin.
"Singkatnya, dominasi elite ekonomi dalam politik Indonesia memiliki efek besar pada kualitas layanan publik, keadilan sosial, dan kekuatan Rule of Law di Indonesia," kata dia.
Lalu ke mana politikus dari golongan miskin dan kaum muda berkantong cekak? Kurangnya politikus dari golongan miskin dan kaum muda ini disebabkan oleh biaya kampanye yang tinggi.
Seorang bupati rata-rata keluar Rp 28 miliar untuk kampanye. Orang miskin atau anak muda mana yang mampu mengeluarkan duit sebanyak itu? Partai-partai politik di Indonesia juga cenderung memilih kandidat dari orang kaya supaya kandidat tersebut bisa membiayai kampanyenya sendiri.
"Sampai sekarang reformasi sistem elektoral (yang sering terjadi di Indonesia), tidak berfokus terhadap mengurangi biaya kampanye. Harusnya: kalau peraturan baru berhasil mengurangi ongkos politik, itu naikkan kemungkinan orang muda dan orang miskin akan maju dalam politik," kata Berenschot menyimpulkan. - PT Kontak Perkasa
Sumber : detik.com
Written by: Kontak Perkasa Futures
PT.Kontak Perkasa Futures, Updated at: 3:46 PM
Post a Comment