Powered by Blogger.
Latest Post
Showing posts with label Sarekat Islam. Show all posts
Showing posts with label Sarekat Islam. Show all posts
9:38 AM
Sarekat Buruh Era Kolonial
Pada awal abad ke-20, Sarekat Islam (SI) dan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) mulia dan besar namanya di kalangan kaum kromo karena bergelut bersama kaum buruh.
Tokoh buruh muda yang bernama Semaoen setidaknya pernah aktif di kedua partai tersebut. Sebelum ikut SI atau ISDV, Semaoen sejak belia sudah pernah ikut serikat buruh kereta api Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP). Organ buruh ini sudah ada sejak 1908. Jauh sebelum ada SI dan ISDV.
Meski lebih banyak orang Indonesia memahami ISDV adalah penyusup SI, ada beberapa sejarawan yang mencatat kedua organisasi itu membentuk federasi buruh bersama. Menurut Takeshi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912—1926 (1997) dan Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia (1997), ISDV dan SI membentuk Persatoean Perserikatan Kaoem Boeroeh (PPKB).
Federasi buruh bersama antara SI dan ISDV ini terbentuk pada 22 Desember 1919 di Yogyakarta. Kerjasama itu bersifat jangka pendek dan tidak hendak menarik loyalitas para buruh untuk menjadi kekuatan dua partai tadi.
Selain Semaoen, ada Bergsma, Thomas Najoan, Haji Agus Salim, dan RM Soerjopranoto. Dua nama terakhir adalah tokoh SI. Mereka mengorganisir kaum pekerja dalam federasi buruh yang terdiri dari 22 serikat buruh, dengan buruh sebanyak 72.000. Di PPKB, Semaun ditunjuk sebagai ketua, Soerjopranoto wakil ketua, Bergsma bendahara, dan Agus Salim selaku sekretaris. Semula Thomas Najoan-lah yang ditunjuk menjadi sekretaris.
Adalah hal lumrah organisasi pergerakan macam SI dan ISDV menggandeng kaum buruh. HOS Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, juga berpengaruh di kalangan buruh. Tokoh buruh Semaoen, yang menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) pertama, adalah anak didik Tjokro.
Penggarapan massa tak hanya berjalan di kalangan buruh kereta api VSTP. Pada 1915, ISDV mengeluarkan surat kabar Het Vrije Woord. HJM Sneevliet, Bergsma, dan Adolf Baars menjadi pengasuh surat kabar tersebut. Mereka tak hanya mempengaruhi kaum buruh, tetapi juga para pelaut militer dan tentara.
Pada Mei 1923, serikat buruh kereta api VSTP melakukan mogok besar di Jawa. Karena pemogokan itu, Semaoen harus diusir dari Hindia Belanda. Sepanjang masa pergerakan, PKI adalah partai yang paling dekat dengan buruh. Namun, gerakan buruh secara umum tak menjadi tulang punggung kekuatan politik di masa kolonial, baik oleh PKI maupun partai lain.
Partai Hancur, Serikat Buruh pun Gugur
Di tahun 1950an, serikat buruh banyak yang berafiliasi dengan partai. Serikat Buruh Islam Indonesia yang berdiri pada 27 November 1948, menurut Iskandar Tedjasukmana dalam Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia (2008), bernaung di bawah partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Partai Nahdlatul Ulama dekat dengan Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi). Menurut MC Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa (2013), Sarbumusi lahir untuk menyaingi organ buruh PKI tahun 1950an, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Berdasarkan penelusuran surat kabar Suluh Bangka yang ditulis Erwiza Erman dalam buku Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa (2013), partai-partai politik juga masuk ke dunia tambang.
“Para elitnya 'menyerbu' tambang, memasuki wilayah tempat tinggal dan tempat kerja mereka untuk mencari massa dengan membentuk serikat yang berafiliasi dengannya.” Anehnya Ketua Serikat Buruh Tambang Indonesia (SBTI) yang berafiliasi ke SOBSI, bukanlah seorang buruh tambang. Dia datang dari luar dan gigih mencari anggota baru.
Dalam sejarahnya, SOBSI yang berdiri di Jakarta pada 29 November 1946 dipimpin orang-orang macam orang-orang yang dicap PKI seperti Setiadjit, Njono, Munir maupun Harjono. Ketika Peristiwa Madiun terjadi pada 1948, serikat buruh ini kehilangan tokoh pentingnya seperti Setiadjid maupun Maruto Darusman.
Meski dekat dengan PKI di awal kemerdekaan, ternyata tak semua serikat-serikat buruh yang bernaung dibawah SOBSI setuju dengan kedekatan organisasi mereka dengan partai politik. Harry Poeze dalam bukunya Madiun 1948: PKI Bergerak (2011), mencatat: “Begitu SOBSI akan menjadi partai, atau dengan jelas mengikuti sesuatu partai, maka Sarekat Buruh Postel akan keluar dari SOBSI.”
Ketika SOBSI menguat di tahun 1950an, PKI juga mulai menguat lagi. Partai komunis ini bahkan tampil dalam empat besar pemenang Pemilu 1955. Wakil-wakil PKI yang belakangan duduk di parlemen sudah seharusnya bisa menjadi pembawa suara buruh yang disuarakan SOBSI.
Meski dicap sekuler bahkan anti-agama, SOBSI memperjuangkan Tunjangan Hari Raya (THR). “Sebagai organisasi buruh terbesar masa itu, SOBSI teguh dalam memimpin perjuangan gerakan buruh demi terpenuhinya tuntuan akan THR,” tulis Jafar Suryomenggolo dalam bukunya Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015).
Sejak Maret 1953, SOBSI sudah berteriak paling keras agar ada “Pemberian tundjangan hari raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gadji kotor.” Partai Islam, yang notabene juga punya onderbouw serikat buruh, sepi-sepi saja soal tuntutan THR itu.
Meski belasan tahun jaya bersama PKI, SOBSI juga harus menanggung naas yang tak kalah berat ketika PKI dihabisi setelah 1966. Menjadi anggota sarekat buruh di SOBSI disamakan dengan anggota PKI. Ditambah cap ateis dan anti-Pancasila pula.
Menurut buku Neraka Rezim Soeharto: Tempat-tempat Penyiksaan Orde Baru (2016) yang disusun Margiyono, Kurniawan Tri Yunanto, dan Yulianti, bekas kantor Dewan Nasional SOBSI di Jalan Kramat V No. 14, 16, dan 18, belakangan tanahnya 'diamankan.'
“Rumah nomor 16 dan 18 dipakai oleh tentara sebagai markas unit Pelaksana Khusus Kopkamtib.”
Kisah Pengusaha cum Pemimpin Serikat Buruh
Dalam sejarah organisasi buruh tanah air, ada juga hal ironis terjadi. Salah satunya adalah fenomena pemimpin buruh yang juga pengusaha. Bukan hanya pengusaha, tapi juga pelaku penggelapan uang.
Tahun 1950an, tersebutlah seseorang bernama Ritonga. Ia adalah bekas pegawai Bea Cukai di Pelabuhan Semarang zaman Belanda yang diberhentikan karena penggelapan uang. Begitu menurut penelusuran Agustinus Supriyono yang ditulisnya dalam "Konflik Perburuhan Endemis di Pelabuhan Semarang pada Masa Revolusi dan Masa Republik" di buku Antara Daerah dan Negara (2011).
Setelah Ritonga tak bekerja di Bea Cukai, Ritonga menjadi satu-satunya pemilik perusahaan bongkar muat dan pergudangan pribumi di pelabuhan Semarang. Nama perusahaannya: Perkavi Veem. Perusahaan itu beroperasi sejak 1951.
Sebelum terkena kasus, pada 1948, ia sudah menjadi pemimpin Gabungan Buruh Pelabuhan (GBP). GBP berbeda haluan dengan Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran (SBPP) yang bernaung di bawah Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berhaluan komunis. Di GBP, Ritonga pernah kena tuduh penggelapan uang milik Sarekat Buruh juga. Dia sempat ditahan polisi, tapi tak lama kemudian dibebaskan.
Ketika “terjadi aksi pemogokan pada akhir tahun 1950 dan awal 1951, Ritonga memberikan kenaikan upah kepada para buruh harian yang bekerja di perusahaannya, dari Rp3 per hari menjadi Rp5 per hari, dengan catatan kenaikan upah itu akan tetap dipertahankan apabila aksi (tuntutan kenaikan upah semua buruh pelabuhan Semarang) mereka berhasil." Demikian yang ditulis Agustinus. “Jika tidak, tentu saja kenaikan itu akan dibatalkan lagi.”
Posisi rangkap Ritonga itu tentu kontradiktif
“Sebagai pemimpin serikat buruh ia telah memimpin aksi-aksi pemogokan, tetapi sebagai majikan ia tidak mau menderita kerugian oleh aksi-aksi mogok yang dipimpinnya sendiri. Ketika Perkavi Veem perlu menyelesaikan pekerjaan bongkar-muat dari sebuah kapal yang ditanganinya, Ritonga menyerukan penghentian sementara aksi mogok.”
Sebuah rapat anggota GBP akhirnya berhasil menyingkirkan dia pada 1953. GBP pun akhirnya bubar karena masalah internal mereka sendiri - PT Kontak Perkasa
Sumber:tirto.id
Serikat Buruh dan Partai Politik Sejak Era PKI
Written By Kontak Perkasa Futures on Wednesday, May 10, 2017 | 9:38 AM
PT Kontak Perkasa - Sejak masa kolonial, Sarekat Islam dan ISDV (cikal-bakal PKI) sudah bersama kaum buruh melawan kapitalisme kolonial Belanda. Perjuangan organisasi-organisasi pergerakan nasional itu bagaimanapun tidak terlepas dari usaha memperbaiki nasib buruh.
Sarekat Buruh Era Kolonial
Pada awal abad ke-20, Sarekat Islam (SI) dan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) mulia dan besar namanya di kalangan kaum kromo karena bergelut bersama kaum buruh.
Tokoh buruh muda yang bernama Semaoen setidaknya pernah aktif di kedua partai tersebut. Sebelum ikut SI atau ISDV, Semaoen sejak belia sudah pernah ikut serikat buruh kereta api Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP). Organ buruh ini sudah ada sejak 1908. Jauh sebelum ada SI dan ISDV.
Meski lebih banyak orang Indonesia memahami ISDV adalah penyusup SI, ada beberapa sejarawan yang mencatat kedua organisasi itu membentuk federasi buruh bersama. Menurut Takeshi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912—1926 (1997) dan Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia (1997), ISDV dan SI membentuk Persatoean Perserikatan Kaoem Boeroeh (PPKB).
Federasi buruh bersama antara SI dan ISDV ini terbentuk pada 22 Desember 1919 di Yogyakarta. Kerjasama itu bersifat jangka pendek dan tidak hendak menarik loyalitas para buruh untuk menjadi kekuatan dua partai tadi.
Selain Semaoen, ada Bergsma, Thomas Najoan, Haji Agus Salim, dan RM Soerjopranoto. Dua nama terakhir adalah tokoh SI. Mereka mengorganisir kaum pekerja dalam federasi buruh yang terdiri dari 22 serikat buruh, dengan buruh sebanyak 72.000. Di PPKB, Semaun ditunjuk sebagai ketua, Soerjopranoto wakil ketua, Bergsma bendahara, dan Agus Salim selaku sekretaris. Semula Thomas Najoan-lah yang ditunjuk menjadi sekretaris.
Adalah hal lumrah organisasi pergerakan macam SI dan ISDV menggandeng kaum buruh. HOS Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, juga berpengaruh di kalangan buruh. Tokoh buruh Semaoen, yang menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) pertama, adalah anak didik Tjokro.
Penggarapan massa tak hanya berjalan di kalangan buruh kereta api VSTP. Pada 1915, ISDV mengeluarkan surat kabar Het Vrije Woord. HJM Sneevliet, Bergsma, dan Adolf Baars menjadi pengasuh surat kabar tersebut. Mereka tak hanya mempengaruhi kaum buruh, tetapi juga para pelaut militer dan tentara.
Pada Mei 1923, serikat buruh kereta api VSTP melakukan mogok besar di Jawa. Karena pemogokan itu, Semaoen harus diusir dari Hindia Belanda. Sepanjang masa pergerakan, PKI adalah partai yang paling dekat dengan buruh. Namun, gerakan buruh secara umum tak menjadi tulang punggung kekuatan politik di masa kolonial, baik oleh PKI maupun partai lain.
Partai Hancur, Serikat Buruh pun Gugur
Di tahun 1950an, serikat buruh banyak yang berafiliasi dengan partai. Serikat Buruh Islam Indonesia yang berdiri pada 27 November 1948, menurut Iskandar Tedjasukmana dalam Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia (2008), bernaung di bawah partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Partai Nahdlatul Ulama dekat dengan Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi). Menurut MC Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa (2013), Sarbumusi lahir untuk menyaingi organ buruh PKI tahun 1950an, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Berdasarkan penelusuran surat kabar Suluh Bangka yang ditulis Erwiza Erman dalam buku Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa (2013), partai-partai politik juga masuk ke dunia tambang.
“Para elitnya 'menyerbu' tambang, memasuki wilayah tempat tinggal dan tempat kerja mereka untuk mencari massa dengan membentuk serikat yang berafiliasi dengannya.” Anehnya Ketua Serikat Buruh Tambang Indonesia (SBTI) yang berafiliasi ke SOBSI, bukanlah seorang buruh tambang. Dia datang dari luar dan gigih mencari anggota baru.
Dalam sejarahnya, SOBSI yang berdiri di Jakarta pada 29 November 1946 dipimpin orang-orang macam orang-orang yang dicap PKI seperti Setiadjit, Njono, Munir maupun Harjono. Ketika Peristiwa Madiun terjadi pada 1948, serikat buruh ini kehilangan tokoh pentingnya seperti Setiadjid maupun Maruto Darusman.
Meski dekat dengan PKI di awal kemerdekaan, ternyata tak semua serikat-serikat buruh yang bernaung dibawah SOBSI setuju dengan kedekatan organisasi mereka dengan partai politik. Harry Poeze dalam bukunya Madiun 1948: PKI Bergerak (2011), mencatat: “Begitu SOBSI akan menjadi partai, atau dengan jelas mengikuti sesuatu partai, maka Sarekat Buruh Postel akan keluar dari SOBSI.”
Ketika SOBSI menguat di tahun 1950an, PKI juga mulai menguat lagi. Partai komunis ini bahkan tampil dalam empat besar pemenang Pemilu 1955. Wakil-wakil PKI yang belakangan duduk di parlemen sudah seharusnya bisa menjadi pembawa suara buruh yang disuarakan SOBSI.
Meski dicap sekuler bahkan anti-agama, SOBSI memperjuangkan Tunjangan Hari Raya (THR). “Sebagai organisasi buruh terbesar masa itu, SOBSI teguh dalam memimpin perjuangan gerakan buruh demi terpenuhinya tuntuan akan THR,” tulis Jafar Suryomenggolo dalam bukunya Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015).
Sejak Maret 1953, SOBSI sudah berteriak paling keras agar ada “Pemberian tundjangan hari raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gadji kotor.” Partai Islam, yang notabene juga punya onderbouw serikat buruh, sepi-sepi saja soal tuntutan THR itu.
Meski belasan tahun jaya bersama PKI, SOBSI juga harus menanggung naas yang tak kalah berat ketika PKI dihabisi setelah 1966. Menjadi anggota sarekat buruh di SOBSI disamakan dengan anggota PKI. Ditambah cap ateis dan anti-Pancasila pula.
Menurut buku Neraka Rezim Soeharto: Tempat-tempat Penyiksaan Orde Baru (2016) yang disusun Margiyono, Kurniawan Tri Yunanto, dan Yulianti, bekas kantor Dewan Nasional SOBSI di Jalan Kramat V No. 14, 16, dan 18, belakangan tanahnya 'diamankan.'
“Rumah nomor 16 dan 18 dipakai oleh tentara sebagai markas unit Pelaksana Khusus Kopkamtib.”
Kisah Pengusaha cum Pemimpin Serikat Buruh
Dalam sejarah organisasi buruh tanah air, ada juga hal ironis terjadi. Salah satunya adalah fenomena pemimpin buruh yang juga pengusaha. Bukan hanya pengusaha, tapi juga pelaku penggelapan uang.
Tahun 1950an, tersebutlah seseorang bernama Ritonga. Ia adalah bekas pegawai Bea Cukai di Pelabuhan Semarang zaman Belanda yang diberhentikan karena penggelapan uang. Begitu menurut penelusuran Agustinus Supriyono yang ditulisnya dalam "Konflik Perburuhan Endemis di Pelabuhan Semarang pada Masa Revolusi dan Masa Republik" di buku Antara Daerah dan Negara (2011).
Setelah Ritonga tak bekerja di Bea Cukai, Ritonga menjadi satu-satunya pemilik perusahaan bongkar muat dan pergudangan pribumi di pelabuhan Semarang. Nama perusahaannya: Perkavi Veem. Perusahaan itu beroperasi sejak 1951.
Sebelum terkena kasus, pada 1948, ia sudah menjadi pemimpin Gabungan Buruh Pelabuhan (GBP). GBP berbeda haluan dengan Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran (SBPP) yang bernaung di bawah Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berhaluan komunis. Di GBP, Ritonga pernah kena tuduh penggelapan uang milik Sarekat Buruh juga. Dia sempat ditahan polisi, tapi tak lama kemudian dibebaskan.
Ketika “terjadi aksi pemogokan pada akhir tahun 1950 dan awal 1951, Ritonga memberikan kenaikan upah kepada para buruh harian yang bekerja di perusahaannya, dari Rp3 per hari menjadi Rp5 per hari, dengan catatan kenaikan upah itu akan tetap dipertahankan apabila aksi (tuntutan kenaikan upah semua buruh pelabuhan Semarang) mereka berhasil." Demikian yang ditulis Agustinus. “Jika tidak, tentu saja kenaikan itu akan dibatalkan lagi.”
Posisi rangkap Ritonga itu tentu kontradiktif
“Sebagai pemimpin serikat buruh ia telah memimpin aksi-aksi pemogokan, tetapi sebagai majikan ia tidak mau menderita kerugian oleh aksi-aksi mogok yang dipimpinnya sendiri. Ketika Perkavi Veem perlu menyelesaikan pekerjaan bongkar-muat dari sebuah kapal yang ditanganinya, Ritonga menyerukan penghentian sementara aksi mogok.”
Sebuah rapat anggota GBP akhirnya berhasil menyingkirkan dia pada 1953. GBP pun akhirnya bubar karena masalah internal mereka sendiri - PT Kontak Perkasa
Sumber:tirto.id
Written by: Kontak Perkasa Futures
PT.Kontak Perkasa Futures, Updated at: 9:38 AM