Madrasah Pesaing Sekolah BelandaPondasi kehidupan modern yang ditanamkan oleh Sultan Syarif Kasim I kemudian dilanjutkan oleh sultan-sultan Siak Sri Inderapura setelahnya, terutama pada masa kepemimpinan Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin atau Sultan Syarif Kasim II (1908-1946), cucu Sultan Syarif Kasim I.
Selain pembangunan fisik, kualitas sumber daya manusia tentu juga sangat penting. Dan itu amat disadari oleh Sultan Syarif Kasim II yang berpandangan bahwa orang Belanda mampu melangkah lebih jauh salah satunya berkat faktor kecerdasan. Hal macam ini bisa diperoleh melalui pendidikan yang baik.
Sultan Syarif Kasim II tentu saja ingin masyarakat Siak nantinya memiliki sumber daya manusia yang mumpuni. Langkah awal yang dilakukannya dengan mendirikan sekolah dasar untuk menandingi Belanda yang sudah jauh-jauh hari mempunyai Hollandsche Inlandsche School (HIS).
Sultan Syarif Kasim II punya alasan kuat sebelum mendirikan sekolah sendiri. Ia kecewa terhadap kebijakan Belanda mengenai HIS. Tak sembarang kalangan bisa mengenyam pendidikan di sekolah tersebut. Selain anak-anak Eropa dan peranakan Tionghoa, hanya anak bangsawan, orang kaya atau terkemuka dari golongan pribumi saja yang boleh masuk HIS. Ini membuat segelintir putra Siak memperoleh kesempatan pendidikan terbaik.
Selain itu, kurikulum HIS tak sesuai dua unsur utama yang sangat dipegang teguh oleh sultan: agama (Islam) dan nasionalisme. Karena itu sultan memprakarsai pendirian Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah (Suwardi Mohammad Samin, Sultan Syarif Kasim II: Pahlawan Nasional dari Riau, 2002:66).
Akhirnya, sekolah dasar ala Kesultanan Siak Sri Inderapura berdiri pada 1917, diperuntukkan bagi anak laki-laki dengan masa pendidikan selama 7 tahun. Selain untuk memperdalam ajaran Islam, Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Para Permaisuri pun BeraksiJika Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah adalah sekolah untuk anak-anak laki-laki, ada pula sekolah untuk anak perempuan. Sebagai pelopornya adalah permaisuri Sultan Syarif Kasim II, yakni Tengku Agong (Tengku Agung) atau yang bergelar Syarifah Latifah. Sekolah ini kemudian dinamakan Latifah School.
Syarifah Latifah tergerak mendirikan sekolah bukan hanya ia adalah permaisuri Sultan Syarif Kasim II. Ia sendiri yang punya gagasan tersebut setelah mendampingi sultan mengunjungi daerah di luar Siak, seperti saat menghadap Residen Sumatera Timur di Medan, juga ke Langkat atau Tanjungpura (Ahmad Yusuf, Sultan Syarif Kasim II: Raja Terakhir Kerajaan Siak Sri Indrapura, 1992:169).
Sang permaisuri melihat masyarakat di dua kota itu lebih modern ketimbang Siak, termasuk dalam hal emansipasi wanita. Tidak sedikit perempuan pribumi yang menjalani profesi selayaknya kaum pria, juga memakai pakaian ala Barat. Hal seperti ini masih sangat sulit diterima oleh masyarakat Siak.
Sepulang dari kunjungan tersebut, Syarifah Latifah berinisiatif menggagas sekolah untuk perempuan pertama di Siak, bahkan di Riau. Berdirilah sekolah kepandaian putri Latifah School, antara 1926 atau 1928 (Wilaela, Sultanah Latifah School di Kerajaan Siak, 2014:130). Sayang, Syarifah Latifah tidak lama mengurusi sekolah yang digagasnya itu. Belum genap setahun Latifah School berdiri, sang permaisuri meninggal dunia.
Perjuangan belum usai. Permaisuri kedua Sultan Syarif Kasim II, yakni Tengku Maharatu, melanjutkan kiprah Syarifah Latifah dengan mengurusi Latifah School. Ia juga berinisiatif membangun asrama putri bernama Istana Limas untuk menampung anak-anak yatim piatu yang disekolahkan di Latifah School.
Tengku Maharatu menggagas pula pendirian sekolah untuk perempuan yang tak cuma mempelajari seputar keterampilan seperti yang diajarkan di Latifah School, melainkan sekolah untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum.
Maka, berdirilah Madrasyahtul Nisak, sekolah khusus untuk perempuan yang setara sekolah dasar macam HIS atau Madrasah Taufiqiyah al Hasyimiah. Selain itu, Tengku Maharatu menggagas sekolah taman kanak-kanak (Adila Suwarno, dkk., 2005:73).
Siasat cerdas melalui jalan pendidikan oleh keluarga Kesultanan Siak Sri Inderapura itu terbukti ampuh dan bertahan lama. Sultan Syarif Kasim II pun sanggup mempertahankan statusnya sebagai Sultan Siak bahkan hingga Indonesia merdeka pada 1945.
Jauh sebelum meninggal dunia pada 1968, Sultan Syarif Kasim II telah menyerahkan wilayah Kesultanan Siak Sri Inderapura kepada pemerintah Republik Indonesia. Wilayah Siak Sri Inderapura pun meleburkan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia dan kini termasuk wilayah administratif Provinsi Riau -
PT Kontak PerkasaSumber:
tirto.id