Oerip Soemohardjoe

Written By Kontak Perkasa Futures on Thursday, February 23, 2017 | 11:05 AM

PT Kontak Perkasa Futures Yogyakarta - Anak ini terkenal nakal di kampungnya, sebuah desa kecil bernama Sindurjan yang berada di wilayah Purworejo, sebelah barat Yogyakarta. Lahir tanggal 22 Februari 1893, ia menyandang nama Muhammad Sidik, seorang bocah yang enerjik tapi sangat mbeling dan cenderung susah diatur. 

Sidik berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya, Soemohardjo, adalah seorang kepala sekolah dan putra tokoh ulama setempat. Sang ibu lebih mentereng lagi karena merupakan anak perempuan kesayangan Raden Tumenggung Widjojokoesoemo, Bupati Trenggalek di Jawa Timur kala itu.

Nakalnya Sidik tidak melulu bermuara miring. Di balik tingkah-polahnya itu, Sidik sejak kecil sudah memperlihatkan karakter kepemimpinan yang kuat. Ia menjadi pemimpin teman-teman sebayanya. Juga ketika bertanding bola di lapangan kampung, Sidik selalu tampil sebagai pemain yang paling menonjol.

Hingga suatu ketika, Sidik tak sadarkan diri usai jatuh dari pohon saat bermain. Beruntung, nyawanya selamat. Ibunya kemudian mengirim surat ke Trenggalek untuk meminta nasehat kepada ayahnya yang bupati itu. Sesuai kepercayaan orang Jawa, Widjojokoesoemo menyarankan agar nama Sidik diganti agar terhindar dari petaka.

Nama baru yang dipilih adalah Oerip, dalam bahasa Jawa berarti “hidup” atau “selamat”. Kendati tetap saja sulit menghilangkan tabiat buruknya, tapi kenakalan di masa kecil itu justru membentuk Oerip sebagai manusia unggulan, berprinsip kuat, dan kelak menjadi salah satu pemimpin yang paling disegani dalam sejarah militer Indonesia.

Berpengalaman vs Pendatang Baru

Setelah kemerdekaan, Oerip yang kini menyertakan nama ayahnya, Soemohardjo menjadi salah satu kandidat terkuat panglima angkatan perang Republik Indonesia yang saat itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Oerip semula paling dijagokan. Selain dinilai punya pengalaman dan kemampuan yang mumpuni, ia juga berstatus sebagai petahana. 

Sebulan sebelum pemilihan itu, tepatnya 14 Oktober 1945, Presiden Soekarno secara langsung menunjuk Oerip untuk menjabat sebagai kepala staf umum tentara merangkap panglima sementara TKR. Soekarno menilai, Oerip adalah sosok yang paling pantas mengingat prestasi dan rekam-jejak panjangnya di ranah kemiliteran sejak era kolonial Hindia Belanda.

Namun, yang berpengalaman sekaligus petahana tak selalu jadi pemenang meskipun sebenarnya masih layak melanjutkan kepemimpinannya. Munculnya sosok baru bernama Soedirman membuat kalangan pemilih terbelah dua. Sentimen kelompok pun turut bermain dalam ajang pemilihan orang nomor satu di TKR tersebut.

Oerip adalah pensiunan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), korps tentara bentukan Belanda yang melibatkan kalangan pribumi. Karier militernya kala itu sangat bagus, bahkan Oerip berpangkat mayor yang menjadikannya sebagai perwira pribumi dengan jabatan tertinggi di KNIL (Anderson, Ben, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 2005:233).

Sebaliknya, Soedirman, yang 23 tahun lebih muda dari Oerip, merupakan mantan personil PETA atau Pembela Tanah Air, kesatuan militer yang dibentuk Jepang setelah menyingkirkan Belanda dari Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, kekuatan angkatan perang republik memang disangga oleh dua kubu ini, yakni mantan anggota KNIL dan PETA.

Jika dibandingkan dengan Soedirman, Oerip masih unggul jauh, baik pengalaman maupun kemampuannya. Oerip lulus akademi militer pada 1914 dan telah terlibat dalam berbagai tugas ketentaraan hingga mencapai pangkat tinggi. Petrik Matanasi (2012:44) dalam buku Pribumi Jadi Letnan KNIL menyebutkan bahwa selama 24 tahun berdinas di KNIL, Oerip sebenarnya hampir berpangkat Letnan Kolonel sebelum pensiun.

Di sisi lain, Soedirman baru 2 tahun mengenal militer sejak gabung PETA pada 1944. Ia sebelumnya seorang guru dan aktivis Muhammadiyah. Situasi yang masih amat labil saat itu membuat karier Soedirman melesat. Pada 20 Oktober 1945, ia menjabat Komandan Divisi V Purwokerto dan justru ditunjuk langsung oleh Oerip sebagai panglima tertinggi sementara TKR.

Rela Kalah Demi Keutuhan

Suasana pemilihan pada 12 November 1945 itu berlangsung panas. Pemungutan suara telah dilakukan dua putaran, hasilnya selalu identik, baik Oerip Soemohardjo maupun Soedirman mendapat suara sama kuat. Dan, di tahap ketiga, Soedirman akhirnya menang tipis, unggul satu suara atas Oerip (A.H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, 1982:196).

Soedirman sejatinya tak enak hati kepada Oerip yang notabene atasannya. Ia berniat mengembalikan jabatan panglima kepada Oerip. Tapi pendukung Soedirman menolak tegas usulan itu. Para bekas anggota PETA ini tidak rela dipimpin orang yang disinyalir telah bersumpah setia kepada kerajaan Belanda terkait riwayat militer Oerip sebagai mantan KNIL (Sardiman, Guru Bangsa: Biografi Jenderal Sudirman, 2008:133).

Sebelum pemungutan suara dilakukan, Oerip sebenarnya berpeluang besar untuk tetap menjabat sebagai panglima tertinggi TKR karena jejak-rekam dan kemampuan memimpinnya. Adapun Soedirman datang belakangan bersama seorang tokoh militer yang mewakili suara dari Sumatera Selatan (Prisma, Volume 11, 1982:272).

Dari situlah muncul usulan untuk digelar voting, bukan langsung dipilih seperti yang semula hendak dilakukan, yang kemudian dimenangkan oleh Soerdiman berkat tambahan sejumlah suara dari Sumatera Selatan yang dititipkan kepada satu orang, yakni orang yang datang bersama Soedirman itu. Fakta tersebut didukung oleh pernyataan A.H. Nasution yang hadir di forum dan ikut terlibat dalam pemungutan suara. 

Dikutip dari Ahmad Syafii Maarif (Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, 2009:123), Nasution yang sekaligus menepis dugaan adanya perselisihan antara eks KNIL dengan PETA dalam prosesi pemungutan suara itu menuturkan kesaksiannya: “Kami yang menentukan pemilihan saat itu. Yang hadir di situ tidak ada yang berebutan, cuma tentunya kita mengusulkan Pak Oerip karena ia telah lebih dulu menjadi Kepala Staf Umum Tentara. Pak Dirman datang setelah itu. Tapi yang terpilih adalah Pak Dirman karena mendapat tambahan suara dari Sumatera Selatan.”

Oerip sendiri dengan legowo mengakui hasil pemungutan suara tersebut. Ia tidak mempersoalkan dinamika yang terjadi di saat-saat terakhir dan justru merasa sedikit lega karena bebannya kini sedikit berkurang, bukan lagi menjadi orang yang paling bertanggungjawab sebagai pucuk pimpinan TKR. 

Bahkan, Oerip dengan kerendahan hati menerima tawaran Soedirman yang tetap mempertahankan posisinya sebagai kepala staf umum dengan pangkat letnan jenderal (Amrin Imran, Panglima Besar Jenderal Soedirman, 1980:74). Dua tokoh besar militer itu pun bersama-sama menyelesaikan selisih paham antara eks KNIL dan PETA hingga akhirnya terbentuklah Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak 15 Mei 1947.

Oerip Soemohardjo terus mengabdi untuk negara meskipun prinsipnya sangat keras. Ia tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah republik yang menempuh jalur diplomasi dengan Belanda. Oerip memilih tetap bergerilya dan menentang Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 yang disebutnya merugikan Indonesia.

Itulah yang menjadi pertimbangan Oerip mundur dari TNI, juga sejumlah alasan lain. Ia muak dengan intrik politik yang terjadi di pemerintahan saat itu. Setelah tidak terlibat aktif lagi di militer, Oerip sempat menjadi penasihat Wakil Presiden RI, Mohammad Hatta, hingga akhirnya wafat pada 17 November 1948 di Yogyakarta karena serangan jantung - PT Kontak Perkasa Futures

Sumber:tirto

Written by: Kontak Perkasa Futures
PT.Kontak Perkasa Futures, Updated at: 11:05 AM
Share this article :

Post a Comment

 
Copyright © 2011. PT.Kontak perkasa Futures Yogyakarta All Rights Reserved
Disclaimer : Semua Market Reviews atau News di blog ini hanya sebagai pendukung analisa,
keputusan transaksi atau pengambilan harga sepenuhnya ditentukan oleh nasabah sendiri.
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger