Powered by Blogger.
Latest Post
Showing posts with label soeharto. Show all posts
Showing posts with label soeharto. Show all posts

Cinta dan Benci untuk Soeharto

Written By Kontak Perkasa Futures on Wednesday, May 24, 2017 | 10:14 AM



PT Kontak Perkasa - Tanggal 21 Mei 1998 menjadi hari yang sangat buram bagi Soeharto. Hari itu ia resmi merujuk ucapannya sendiri "berhenti" sebagai presiden. Pada hari Kamis itu pula, seorang warga dari Lhokseumawe menulis surat untuknya.

“Jabatan hanyalah titipan dan amanah Allah yang akan diambil kembali. Tiada seorang pun yang sanggup menolak bila diberi-Nya dan tidak seorang pun yang akan sanggup menerima tanpa seizin-Nya,” tulis Zulkarnain Husein, nama pria Aceh itu.

“Keputusan Bapak untuk mau dan berani mengembalikan amanah kepada yang berhak sesuai konstitusi adalah sangat menyentuh. Kami percaya ini adalah sikap patriot dan pahlawan tanpa ada paksaan dari pihak manapun dan dengan izin Allah tentunya,” lanjutnya.


Banyak Cinta untuk Sang Mantan


Surat untuk Soeharto itu muncul dalam buku karya Anton Tabah (1999) dengan judul Empati di Tengah Badai: Surat-surat kepada Pak Harto. Buku ini diterbitkan saat Indonesia sedang bergolak selepas runtuhnya Orde Baru.

Selain dari Aceh, ada pula surat dari Papua atas nama Siti Sainab. “Saya tidak termasuk yang ikut-ikutan menghujat keluarga Cendana,” tulisnya. “Mengapa? Karena saya bangga bangsa Indonesia memiliki salah satu putra terbaik yang selama 32 tahun mau memberikan yang terbaik untuk bangsa ini maupun bangsa-bangsa lain.”

Dari Bantaeng, Sulawesi Selatan, Harmis Abka menulis, “Kami tidak dapat membalas apa yang telah Bapak berikan untuk negara ini… Rasa hormat, cinta dan kasih saya, orangtua saya dan adik-adik tidak akan berubah kepada Bapak dalam situasi dan keadaan apapun.”


Ada juga yang yakin bahwa Soeharto telah dikhianati. 
 
“Setega itukah orang-orang yang dulu membungkuk-bungkuk di hadapan Bapak, menempel Bapak, pada akhirnya melengos, memfitnah, serta memburuk-burukkan tingkah dan kepemimpinan Bapak dan keluarga?” demikian Suyoko Hatmosardjono dari Banyuwangi.

“… orang-orang seperti itu pada akhirnya akan tercampakkan dengan sendirinya karena mereka tidak mempunyai pendirian. Mereka bunglon yang dapat berganti baju mengikuti situasi dan kondisi saat ini, dan mereka adalah orang-orang munafik!” imbuhnya geram.

Seorang ibu rumah-tangga bernama Herlina dari Temanggung, Jawa Tengah, juga mengungkapkan duka-cita yang mendalam. “Saya sedih kenapa Bapak mengundurkan diri sebagai presiden. Saya meneteskan air mata saat Bapak menyerahkan Jabatan kepada Bapak Habibie.”

“Terima kasih kami kepada Bapak. Akan kami tanamkan cerita dan sejarah Bapak kepada anak-anak kami yang masih kecil-kecil. Semoga Bapak tetap membangun negara dengan cara lain,” janji Herlina.
Tumbal Takhta Dari Aceh Sampai Papua

Siti Sainab mungkin tidak mengetahui, Soeharto yang dalam suratnya ia banggakan sebagai salah satu putra terbaik bangsa itu kerap menumpahkan darah di Bumi Cenderawasih -- tapi siapa yang tahu Siti Sainab orang Papua atau bukan?

Setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat alias Irian Jaya pada 1969, terjadilah berbagai kasus pembunuhan, bahkan pembantaian, terhadap mereka yang ditengarai terlibat Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Tentu saja, ada peran Soeharto selaku orang yang paling berkuasa di Indonesia kala itu dalam kasus-kasus yang melibatkan perangkat militer ini. Apalagi, Soeharto sedang asyik-asyiknya menikmati “limpahan” kekuasaan dari Sukarno yang diklaimnya sejak mengantongi Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 1966.

Laporan yang diterbitkan surat kabar terbitan Belanda De Telegraaf atas hasil investigasi Henk de Mari menyebutkan bahwa 55 pria dari dua desa di Biak Utara tewas pada Juni 1971. Di wilayah yang sama, terjadi lagi kasus serupa pada 1974 dan 1975 yang masing-masing memakan korban jiwa sebanyak 45 dan 41 orang.

Tahun 1977, seperti yang ditulis Muchtar Effendi Harahap (2004) dalam buku Demokrasi dalam Cengkeraman Orde Baru, sekitar 3.000 orang dari Suku Dani tewas karena dituding melakukan upaya pemberontakan. Saat itu, permukiman orang-orang Dani di Lembah Baliem dibom dengan pesawat dari udara.

Pembunuhan demi pembunuhan di tanah Papua pun terus terjadi selama Soeharto berkuasa. Terhitung sejak 1981 hingga 1996 atau 2 tahun sebelum berakhirnya Orde Baru, lebih dari 15 ribu orang Papua tewas, belum lagi mereka yang disiksa dan dipenjara.

Tak hanya Papua, Aceh pun mengalami nasib yang nyaris serupa. Zulkarnaen Husein yang bermukim di Lhokseumawe mestinya tahu bahwa orang yang disebutnya sebagai patriot dan pahlawan itu berada di balik operasi militer yang diterapkan di Bumi Rencong sejak 1989.

Hampir sama dengan di Papua, operasi militer di ujung barat Indonesia dilakukan untuk membasmi apa yang disebut oleh rezim Orde Baru sebagai gerakan separatis. Atas nama stabilitas nasional dan keutuhan NKRI, Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) hingga usai lengsernya Soeharto.

Laporan yang dirilis Amnesty International pada 1993 memperkirakan sekitar 2.000 warga sipil, termasuk anak-anak dan lansia, menjadi korban tewas. Sementara 1.000 orang lainnya ditangkap, dianiaya, hingga dibui.

Banyak juga warga yang tiba-tiba “menghilang” karena dituding telah terlibat atau berhubungan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Belum lagi ratusan perempuan Aceh yang menjadi korban perkosaan, disinyalir lebih dari 300 wanita dan anak-anak gadis di bawah umur.


Strategi Melanggengkan Kekuasaan

Apa yang menimpa rakyat Papua dan Aceh baru sebagian dari rangkaian aksi Soeharto dalam rangka melanggengkan kekuasaannya. Masih banyak insiden kemanusiaan lainnya yang terjadi di berbagai wilayah di tanah air selama Orde Baru berkuasa.

Beberapa di antaranya sebutlah Operasi Seroja di Timor-Timur pada 1975, Operasi Clurit yang memunculkan penembak misterius (petrus) untuk memberantas kriminalitas sejak 1982, Tragedi Sindang Raya-Tanjung Priok pada 1984, Peristiwa Talangsari di Lampung Timur pada 1989, Peristiwa 27 Juli 1996, dan seterusnya.

Bahkan sebelum Soeharto resmi menjadi presiden, embrio kekuasaannya telah ditandai dengan tragedi berdarah sejak 1966, yakni operasi “pembersihan” terhadap warga negara Indonesia yang dituding terlibat PKI. Ada banyak versi terkait jumlah korban tewas akibat aksi pembantaian ini, dari ratusan ribu hingga jutaan.

Lantas, mengapa banyak yang menyesalkan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan dan bahkan tidak sedikit rakyat Indonesia yang merindukan kepemimpinannya bahkan sampai saat ini?

Selain membalut kekerasan itu dengan bungkus NKRI, Soeharto juga melakukan hal-hal yang “menyenangkan” rakyat. Pembangunan, terjaganya keamanan nasional, stabilitas ekonomi termasuk swasembada pangan, juga perhatian hingga ke akar rumput, membuat sebagian besar warga seolah-olah tidak peduli dengan hiruk-pikuk yang sebenarnya terjadi bersamaan.

Hebatnya, strategi itu berjalan dan bertahan berpuluh-puluh tahun.

Soeharto sejatinya sadar bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, termasuk singgasana yang didudukinya kendati ia berusaha dengan segala cara untuk mempertahankannya selama mungkin.

“Kekuasaan pemimpin tidaklah mutlak. Kekuasaan itu bersumber pada kepercayaan yang diberikan anak buah atau rakyat yang dipimpinnya. Tanpa kepercayaan ini, tak mungkin seorang pemimpin berwibawa,” begitu ucapnya dalam buku Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto karya O.G. Roeder (1976).

Dan, itulah yang terjadi. Kekuasaan Soeharto runtuh terhitung tanggal 21 Mei 1998. Sejak itulah, kebencian serta kemuakan atas kebobrokan rezimnya kian terungkap meskipun rasa cinta dan kerinduan masih saja ada di hati sebagian rakyat Indonesia - PT Kontak Perkasa
Sumber:tirto.id
Written by: Kontak Perkasa Futures
PT.Kontak Perkasa Futures, Updated at: 10:14 AM

Dosa dan Jasa Soeharto untuk Indonesia

Written By Kontak Perkasa Futures on Friday, January 27, 2017 | 10:30 AM


Kontak Perkasa FuturesSuatu hari di tahun 1958, Panglima Komando Daerah Militer Diponegoro berseru di depan para prajuritnya. “Seorang pemimpin atau perwira harus senantiasa sadar tentang apa yang dilakukannya. Ia harus pula bersikap jujur dan tidak licik,” tegasnya.

“Kekuasaan pemimpin tidaklah mutlak. Kekuasaan itu bersumber pada kepercayaan yang diberikan anak buah atau rakyat yang dipimpinnya. Tanpa kepercayaan ini, tak mungkin seorang pemimpin berwibawa,” lanjut sang panglima.

Panglima yang berteriak lantang itu sejatinya berkarakter kalem. Ketika nanti menjabat sebagai presiden Indonesia, ia dijuluki The Smiling General: tak banyak bicara, jenderal yang terkenal dengan senyumannya yang ikonik. Namun, meski tak berwajah garang, (rezim) Soeharto menggebuk pihak-pihak yang ia anggap (bisa) merongrong. Ya, ia adalah Presiden Republik Indonesia ke-2, Soeharto.
The Smiling General

Seruan yang dikutip dari buku Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto karya O.G. Roeder (1976:219) tersebut tampaknya terlalu berat untuk Soeharto. Ia terbukti tidak mampu menjalankan imbauannya sendiri.

“Kekuasaan pemimpin tidaklah mutlak,” katanya, tapi ia bertakhta selama lebih dari 30 tahun di pucuk kekuasaan negeri ini sebelum akhirnya “mengundurkan diri” setelah dituntut lengser oleh aksi rakyat dan mahasiswa pada Mei 1998.

Simak pula lidah Soeharto yang berucap, “Ia (pemimpin) harus pula bersikap jujur dan tidak licik.” Belum genap setahun, Soeharto sudah melanggar nasehatnya sendiri tentang dua sifat mulia itu. Tanggal 17 Oktober 1959, ia tersangkut kasus.

Eros Djarot (2006:41) dalam buku Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI menyebut bahwa Soeharto nyaris dipecat karena menggunakan kuasa militernya sebagai Pangdam Diponegoro untuk memungut uang dari berbagai perusahaan di Jawa Tengah. 

Tak hanya itu, Soeharto juga ketahuan melakukan penyelewengan dengan menyelundupkan gula dan kapuk ilegal bersama Bob Hasan dan Liem Sioe Liong. Dua orang ini nantinya menjadi kongsi karib Soeharto selama Orde Baru berkuasa. 

Persekongkolan Soeharto yang tentara dengan para juragan itu diungkapkan Joe Studwell (2009:30) dalam buku Asian Godfathers: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa. Itu bukan yang pertama dan terakhir. Kelak, Soeharto dan banyak pemuka militer Indonesia lainnya yang menjalin relasi mesra dengan kaum saudagar.

Perkara-perkara beraroma korupsi itu tak pelak memantik murka Menteri Keamanan dan Pertahanan A.H. Nasution. Nasution pun berniat memecat Soeharto. Beruntung, berkat campur-tangan Jenderal Gatot Soebroto, karier militer Soeharto terselamatkan.
Memadamkan Sukarno 

Soeharto batal dipecat, hanya dicopot dari jabatan Pangdam Diponegoro. Tugasnya pun dihentikan untuk sementara dan dikirim sekolah lagi. Namun, cacat dalam kariernya itu tidak menghalangi jalan mulus Soeharto di ketentaraan. Buktinya, hanya butuh waktu kurang dari 10 tahun baginya untuk menduduki kursi kuasa tertinggi di negeri ini.

Berbagai kejadian di sepanjang tahun-tahun awal dekade 1960-an mendongkrak karier Soeharto yang berpuncak pada aksinya sebagai “pahlawan” dalam misi penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) usai Gerakan 30 September 1965. Dari situ, Soeharto sukses mengangkangi Sukarno dan pada akhirnya menduduki kursi presiden.

Menurut kesaksian putri Sukarno, Rachmawati Sukarnoputri, seperti dikutip dari buku Soeharto, Maafkan Saya (N.B. Susilo & Xiang Jun Wang, 2008:75), ayahnya wafat pada 21 Juni 1970 dengan kondisi memprihatinkan, terbaring di atas sofa dalam ruangan sempit. 

Kedua pipi sang proklamator membengkak, mata sedikit terbuka tapi nir-ekspresi dengan roman muka yang menyiratkan kepasrahan mendalam. Rachmawati sempat mengabadikan momen miris tersebut dan mengirimkan fotonya ke Kantor Berita AP yang kemudian terpampang di media nasional.
Indonesia di Era Orde Baru

Terlepas dari dosa-dosa Soeharto, baik sebelum, selama, juga setelah menjabat sebagai Presiden RI, seperti yang terekam dalam banyak referensi, bukan berarti The Smiling General nihil jasa untuk Indonesia.

Selama Orde Baru, Soeharto mencanangkan perbaikan untuk Indonesia. Lewat pembangunan terencana yang diaplikasikan melalui tahapan Repelita, ia yakin Indonesia akan tinggal landas pergantian milenium, tahun 2000, meski akhirnya itu tidak pernah terjadi.

Tahun 1984, misalnya, Indonesia meraih swasembada pangan yang membuat Soeharto mendapat kehormatan berpidato dalam Konferensi ke-23 Food and Agriculture Organization (FAO) di Roma, Italia, pada 14 November 1985. Soeharto juga memberikan bantuan 100.000 ton padi untuk korban kelaparan di Afrika. 

Selain itu, Soeharto juga membangkitkan Indonesia dari keterpurukan ekonomi. Tahun 1967, negeri ini punya utang luar negeri sebesar 700 juta dolar AS, dan Soeharto dibantu para pakar ekonomi, terutama Soemitro Djojohadikoesoemo, membalikkan keadaan yang berpuncak pada swasembada pangan pada 1984 (Laidin Girsang, Indonesia Sejak Orde Baru, 1979:41).

Namun, selain kesuksesan di bidang ekonomi, rezim Soeharto juga disorot dalam perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat setidaknya 10 kasus, mulai dari Pulau Buru terkait kader PKI, penembakan misterius yang terkait kriminalitas, daerah operasi militer di Aceh dan Papua, peristiwa Talangsari, sampai penculikan dan kerusuhan Mei 1998.

Akhir Sang Penguasa

Program Keluarga Berencana (KB) juga menjadi salah satu prestasi Soeharto. Ia meyakini kenaikan produksi pangan yang besar tidak akan banyak artinya jika jumlah penduduk tak terkendali. Misi KB adalah tercapainya jumlah penduduk yang serasi dengan laju pembangunan. 

Soeharto dengan cerdik merangkul Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memuluskan program KB yang sempat mendapat penolakan dari kaum agamis. Fatwa MUI tentang KB membuat masyarakat tenang karena merasa tidak melanggar ajaran agama (Nazaruddin Sjamsuddin, Jejak Langkah Pak Harto:16 Maret 1983-11 Maret 1988, 1992:51).

Hasilnya, angka kematian bayi dapat ditekan, juga usia harapan hidup rata-rata orang Indonesia yang semula hanya 41 tahun pada 1965, meningkat menjadi 63 tahun pada 1994.

Keberhasilan ini menghasilkan pujian dari UNICEF. Soeharto pun diganjar UN Population Award, penghargaan tertinggi PBB di bidang kependudukan, yang diberikan langsung oleh Sekjen Javier de Cuellar pada 8 Juni 1989 di Markas Besar PBB, New York.

Pengakuan untuk Soeharto tidak hanya datang dari dalam negeri. Ia mengoleksi 37 tanda kehormatan dari berbagai negara di dunia (Dewi Ambar Sari & Lazuardi Adi Sage, Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto, 2006: 29).

Krisis moneter yang menjangkiti Asia hingga ke Indonesia menjadi awal dari kejatuhan Soeharto. Ditambah sejumlah blunder politik di detik-detik akhir kekuasaannya dan makin tidak terbendungnya gelombang rakyat yang menuntut perubahan, akhirnya Soeharto menyerah. Ia mengumumkan berhenti sebagai presiden pada 21 Mei 1998, aksi yang ia sebut sebagai "lengser keprabon."

Hampir 10 tahun kemudian, pada 27 Januari 2008, Soeharto meninggal dunia setelah 24 hari dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta - Kontak Perkasa Futures

Sumber : tirto
Written by: Kontak Perkasa Futures
PT.Kontak Perkasa Futures, Updated at: 10:30 AM
 
Copyright © 2011. PT.Kontak perkasa Futures Yogyakarta All Rights Reserved
Disclaimer : Semua Market Reviews atau News di blog ini hanya sebagai pendukung analisa,
keputusan transaksi atau pengambilan harga sepenuhnya ditentukan oleh nasabah sendiri.
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger